Jejak Asal Usul Suku Payung di Nusantara
Di Pelalawan, Riau, terdapat sebuah kelompok masyarakat adat yang dikenal dengan nama Suku Payung. Mereka merupakan bagian dari rumpun Melayu Petalangan, sebuah komunitas yang masih memegang erat adat dan tradisi leluhur. Nama “Payung” yang melekat pada suku ini menarik perhatian karena ternyata juga ditemukan dalam berbagai bentuk di sejumlah wilayah Nusantara.
Di Singkil, Aceh, dikenal marga Payung yang memiliki garis kekerabatan dengan masyarakat Pakpak dan Karo. Sementara di kalangan Batak Toba ada marga Sipayung yang cukup dikenal luas. Tidak berhenti di situ, ada pula marga Marpaung yang diyakini berasal dari kata “Marpayung”. Fenomena ini menimbulkan dugaan bahwa istilah “Payung” memiliki akar sejarah yang panjang serta keterhubungan budaya lintas etnis di Sumatera.
Selain menjadi nama suku dan marga, kata “Payung” juga terabadikan dalam sejumlah toponimi. Di Sumatera Utara terdapat sebuah kecamatan bernama Langga Payung di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Nama “Payung” pun digunakan di sejumlah daerah lain, menandakan keberadaannya bukan sekadar sebutan, melainkan bagian dari memori kolektif masyarakat.
Bukti lain keberadaan kata “Payung” yang sudah tua dapat ditemukan dalam catatan sejarah klasik. Dalam prasasti Anjuk Ladang dari era Mataram Kuno, istilah payung disebut sebagai simbol perlindungan dan kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa jauh sebelum kata ini dipakai sebagai nama suku atau marga, ia sudah memiliki makna yang kuat dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Nusantara.
Kehadiran payung dalam kehidupan manusia sebenarnya sangat tua. Sejak masa Mesir kuno, payung dikenal sebagai alat untuk melindungi diri dari terik matahari maupun hujan. Dari sanalah makna simbolik payung berkembang, tidak hanya sebagai alat pelindung, tetapi juga sebagai lambang martabat, kewibawaan, dan status sosial.
Di Sumatera dan Jawa, payung juga masuk ke dalam ranah kesenian. Tari Payung dikenal sebagai salah satu tarian tradisional yang sarat makna filosofis. Dalam pertunjukan itu, payung digunakan bukan sekadar properti tari, melainkan simbol kasih sayang, perlindungan, dan keintiman. Kehadirannya memperlihatkan bagaimana benda sederhana bisa diangkat menjadi simbol budaya yang berharga.
Dalam tradisi masyarakat Jawa, istilah payung juga mendapat tempat khusus. Konsep Satrio Pinayungan menggambarkan seorang kesatria yang mendapatkan perlindungan langsung dari Tuhan. Sosok ini diyakini memiliki wibawa, karisma, dan keberkahan hidup yang menjadikannya teladan bagi masyarakat sekitarnya.
Menurut kitab primbon Jawa kuno, mereka yang digolongkan sebagai Satrio Pinayungan kerap dianggap sebagai pemimpin alami. Tugasnya tidak hanya menjaga dirinya, tetapi juga mengayomi, melindungi, serta membawa kedamaian bagi lingkungannya. Dengan kata lain, payung di sini tidak lagi dimaknai sebagai benda, melainkan simbol spiritual yang menekankan peran sebagai pelindung.
Menariknya, konsep “payung” dalam arti pelindung ternyata sejalan dengan fungsi sosial yang dimainkan oleh suku-suku dan marga yang menggunakannya sebagai identitas. Suku Payung di Pelalawan misalnya, dikenal sebagai komunitas yang memelihara hubungan sosial yang kuat, seakan-akan menjadi payung bagi anggota masyarakatnya sendiri.
Demikian pula marga Sipayung dan Marpaung di Batak. Mereka kerap menempatkan nilai kekeluargaan dan solidaritas sebagai pedoman hidup. Dalam arti tertentu, nama itu mencerminkan peran mereka sebagai pelindung, baik secara simbolis maupun praktis, di tengah masyarakat.
Asal usul penamaan ini masih menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan sejarawan dan budayawan. Ada yang menduga kata “Payung” berasal dari istilah lokal yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah melalui migrasi dan interaksi dagang. Ada pula yang melihatnya sebagai istilah proto-Melayu yang bertahan di banyak tempat hingga kini.
Jejak migrasi orang-orang Melayu di sepanjang pesisir Sumatera, dari Aceh hingga Riau, diduga turut menyebarkan istilah ini. Hubungan erat antara komunitas pesisir dengan pedalaman membuat nama-nama marga dan suku kerap saling memengaruhi, sehingga tidak heran jika “Payung” muncul di berbagai daerah dengan bentuk berbeda.
Dalam konteks Pelalawan, Suku Payung tidak bisa dilepaskan dari akar Melayu Petalangan yang memiliki tradisi kuat sebagai peladang berpindah dan penjaga hutan. Sebutan “Payung” bisa jadi lahir sebagai simbol perlindungan atas wilayah, keluarga, dan adat istiadat mereka. Makna pelindung ini kemudian diwariskan lintas generasi sebagai identitas komunal.
Sementara itu di wilayah Batak, penggunaan kata “Payung” dalam marga dapat ditafsirkan sebagai simbol penghimpun. Marga berfungsi sebagai wadah persatuan keluarga besar, sehingga penamaan itu menegaskan peran sebagai peneduh bagi anggotanya.
Keterkaitan antara simbol dan realitas budaya ini menjadikan istilah “Payung” unik sekaligus penting. Ia tidak hanya hidup dalam ranah bahasa, tetapi juga meresap ke dalam sistem sosial, spiritual, hingga seni pertunjukan.
Munculnya kata “Payung” di prasasti, seni tari, primbon Jawa, hingga sistem marga menunjukkan bahwa istilah ini sudah menjadi bagian dari khazanah Nusantara sejak lama. Ia hadir sebagai lambang universal yang menghubungkan berbagai etnis dan budaya dalam satu makna bersama: pelindung dan pengayom.
Dari perspektif antropologi, keberadaan Suku Payung di Riau memberi bukti bahwa istilah tersebut bukan kebetulan, melainkan cermin dari identitas yang berkembang serentak di berbagai daerah. Ini memperlihatkan bagaimana simbol-simbol budaya mampu melintasi batas geografis dan menyatu dalam tradisi yang berbeda.
Dengan demikian, asal usul Suku Payung tidak bisa dipandang hanya sebagai catatan lokal di Pelalawan. Nama ini adalah pintu masuk untuk memahami jaringan sejarah yang lebih luas, yang menghubungkan Melayu, Batak, Jawa, hingga warisan kuno Asia dan Timur Tengah.
Hari ini, ketika masyarakat masih melestarikan adat Suku Payung, mereka sejatinya sedang menjaga salah satu simpul penting dalam warisan budaya Nusantara. Simpul yang bukan hanya merekam identitas leluhur, tetapi juga memayungi jejak sejarah panjang peradaban kepulauan.
Tidak ada komentar: