[nasyid][slideshow]

Musisi Nasyid Daerah yang Jarang Tersorot

Di tanah Tabagsel dan Mandailing, musik nasyid sebenarnya tumbuh subur sejak lama. Tradisi melantunkan syair-syair Islami dengan iringan musik sederhana sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, terutama di momen-momen keagamaan dan adat. Sayangnya, para musisi nasyid dari Mandailing, Tabagsel, dan Batak Toba ini jarang sekali mendapat ruang di media nasional, bahkan di tingkat regional pun nama mereka kerap luput dari pemberitaan.

Padahal jika ditelusuri, banyak di antara mereka yang memiliki suara merdu dan kemampuan vokal yang mumpuni. Mereka tak hanya sekadar menyanyikan lagu-lagu religi, tetapi juga menghidupkan kembali tradisi syair Islami dalam balutan musik daerah. Dari desa-desa di Panyabungan, Sipirok, Padangsidimpuan hingga ke pelosok Balige, para pelantun nasyid ini terus menjaga tradisi lisan yang bernuansa dakwah tersebut.

Sebagian musisi nasyid Mandailing bahkan telah menciptakan karya-karya yang layak masuk dalam arsip budaya lokal. Lantunan mereka bukan hanya memperindah suasana acara-acara keagamaan, tetapi juga menyampaikan pesan moral yang kuat. Namun sayangnya, dokumentasi karya mereka masih sangat minim. Media massa maupun media daring lebih banyak meliput artis populer nasional ketimbang pelaku seni lokal yang sesungguhnya memiliki potensi besar.

Hal yang sama terjadi saat Siti Hamijah Nasution wafat pada tahun 2013. Kepergian penyanyi legendaris Mandailing ini meninggalkan duka mendalam bagi pecinta musik daerah. Lagu “Na Rere” yang dilantunkannya telah menjadi lagu sakral dalam prosesi adat Mandailing, khususnya saat pengantin wanita meninggalkan rumah orang tuanya. Namun selain pemberitaan sekejap, tidak banyak media yang membahas lebih jauh peran dan karya-karya Mijah selama hidupnya.

Kisah Siti Hamijah menjadi contoh nyata bagaimana seorang penyanyi daerah bisa mencapai status legenda tanpa pernah benar-benar mendapat perhatian luas dari media nasional. Lagu “Na Rere” hidup di hati masyarakat, bahkan diulang dalam setiap acara adat, tetapi dokumentasi tentang penciptanya, perjalanan hidupnya, hingga karya-karya lainnya sangat terbatas. Padahal seharusnya cerita seperti ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda.

Di sisi lain, musisi nasyid di Tabagsel dan Toba saat ini masih terus berkarya, meski tanpa sorotan kamera atau halaman utama berita. Mereka tetap tampil di acara maulid, pengajian, tabligh akbar, hingga festival keagamaan di tingkat kabupaten. Mereka menjaga syair-syair lama, melantunkan puji-pujian dalam bahasa Mandailing, Angkola, dan Toba, sering kali dengan aransemen musik tradisional yang berpadu dengan alat musik modern.

Sayangnya, karena kurangnya perhatian manajemen dan media, nama-nama mereka tidak terdokumentasi dengan baik. Karya mereka kerap hanya beredar di lingkup komunitas atau sekadar menjadi konsumsi lokal tanpa sempat diarsipkan atau direkam secara profesional. Padahal, karya-karya mereka bisa menjadi warisan budaya lisan yang penting di masa depan.

Peran manajemen seni di daerah-daerah ini sangat dibutuhkan untuk mengangkat para pelaku nasyid ke ruang publik yang lebih luas. Selain mengatur jadwal pentas dan produksi karya, manajemen seharusnya aktif menuliskan biografi dan kisah hidup para musisi ini. Dengan begitu, masyarakat luas bisa mengenal siapa saja di balik syair-syair indah yang kerap terdengar di acara-acara adat dan keagamaan.

Biografi yang ditulis dan dipublikasikan akan menjadi pintu bagi masyarakat untuk mengetahui perjalanan hidup, karya, serta kontribusi musisi-musisi lokal terhadap budaya daerah. Hal ini juga bisa memudahkan media untuk mengangkat kisah mereka dan memberikan penghargaan yang layak atas dedikasi mereka menjaga tradisi lisan dan musik religi daerah.

Jika selama ini hanya musisi populer nasional yang mendapat sorotan, sudah saatnya media lokal maupun nasional memberi ruang untuk pelaku seni tradisional dan musisi nasyid dari Sumatera Utara. Apalagi banyak di antara mereka yang telah mengabdikan diri puluhan tahun tanpa pamrih, semata-mata demi menjaga tradisi dan syiar Islam di kampung halamannya.

Banyak pula musisi muda di Mandailing dan Tapanuli Selatan yang mulai menulis lirik nasyid dalam bahasa daerah. Mereka memadukan syair Islami klasik dengan gaya musik modern tanpa meninggalkan nilai-nilai adat. Ini membuktikan bahwa musik nasyid daerah tidak mati, hanya saja luput dari perhatian publik.

Sudah saatnya komunitas seni dan pemerintah daerah lebih aktif mencatat dan mempromosikan musisi-musisi nasyid ini. Festival nasyid yang rutin digelar seharusnya tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tapi juga ruang dokumentasi dan publikasi bagi para pelantun syair religi daerah.

Di luar itu, media daring lokal bisa berperan besar dengan membuat rubrik khusus tentang musisi nasyid daerah. Mulai dari wawancara eksklusif, ulasan karya, hingga profil singkat tentang perjalanan karier mereka. Dengan begitu, nama-nama pelaku seni ini bisa lebih dikenal dan diapresiasi.

Belajar dari kasus Siti Hamijah, jangan sampai kita kembali kehilangan pelaku seni tanpa meninggalkan jejak dokumentasi yang memadai. Sebab sebuah karya bisa bertahan lama, tetapi nama penciptanya sering kali terkubur bersama waktu jika tak diabadikan dalam tulisan dan catatan sejarah.

Bagi generasi muda, mengenal musisi nasyid daerah berarti turut melestarikan tradisi lisan yang mengandung pesan moral dan spiritual. Karya-karya mereka bukan sekadar hiburan, tetapi juga media dakwah dan sarana menjaga identitas budaya di tengah arus modernisasi.

Karena itu, kehadiran manajemen seni dan media yang aktif menuliskan biografi serta kisah para musisi nasyid menjadi kebutuhan mendesak. Agar suara-suara merdu dari pelosok Tabagsel, Mandailing, dan Batak Toba ini tak hanya terdengar di acara pengajian, tetapi juga tercatat dalam sejarah budaya Nusantara.

Tidak ada komentar:

Nasyid

[batak][stack]

Qasidah

[qasidah][grids]