Jika Belanda Tidak Menjajah, Mungkinkah Indonesia Tak Perlu Merdeka?
Bayangkan sejenak, jika ratusan tahun lalu Belanda datang ke Nusantara bukan sebagai penjajah, tapi sebagai mitra. Datang bukan untuk mengeruk rempah-rempah dan emas hitam dari tanah yang subur ini, melainkan untuk berbagi dunia baru yang mereka temukan. Mungkinkah hari ini kita tidak pernah mengenal kata merdeka seperti yang kita ucapkan penuh haru pada 17 Agustus 1945?
Belanda datang membawa kapal-kapal besar, meriam, dan hasrat dagang yang meluap-luap. Sejak VOC didirikan pada awal abad ke-17, kekayaan alam Indonesia bukan sekadar komoditas, tapi candu yang tak mampu mereka lepaskan. Mereka membangun benteng-benteng, menggali jalur dagang, dan perlahan menancapkan kuku-kuku tajamnya di seluruh pulau besar Nusantara.
Namun, ada yang jauh lebih licin dari meriam atau perdagangan: stereotype. Orang Belanda membangun imaji tentang pribumi yang tunduk, penurut, dan tanpa daya. Dalam imajinasi kolonial, orang Indonesia adalah pekerja yang setia, tidak berani melawan, malas, ramah, religius, tapi tidak berpikir panjang. Stereotip ini menjadi semacam kunci tak kasat mata yang membuat Belanda merasa Indonesia akan tetap patuh di bawah kekuasaannya.
Padahal, imajinasi itu terlalu dangkal. Mereka hanya melihat kulit luar. Benar, orang Indonesia sopan, hormat, dan tidak suka konfrontasi terbuka. Tapi apakah itu berarti mereka lemah? Sejarah membuktikan sebaliknya. Dari Aceh yang tidak pernah sepenuhnya tunduk, Perang Diponegoro yang mengguncang Belanda, hingga perlawanan sporadis di berbagai daerah yang berlangsung jauh sebelum kata “nasionalisme” diperkenalkan.
Jika Belanda datang dengan cara berbeda, menghargai orang-orang Nusantara sebagai bangsa yang setara, apakah jalan sejarah akan lain? Tidak sedikit yang berandai, Indonesia mungkin akan menjadi seperti Kanada atau Australia bagi Inggris, menjadi bagian dari kerajaan tanpa harus kehilangan harga dirinya. Tapi itu tidak terjadi.
Belanda terjebak dalam arogansi kekuasaannya. Sistem tanam paksa, kerja rodi, upeti, dan diskriminasi menjadi wajah nyata kolonialisme di Indonesia. Kekayaan alam disedot tanpa ampun, sementara pribumi dipaksa bekerja di ladang-ladang yang bukan lagi milik mereka. Ketika kebutuhan hidup mereka sendiri terabaikan demi memenuhi pasar Eropa, api perlawanan menyala—pelan tapi pasti.
Yang lebih ironis, Belanda meyakini stereotip yang mereka ciptakan sendiri. Mereka percaya rakyat Indonesia terlalu malas dan takut untuk benar-benar melawan. Padahal, para petani yang mereka anggap lamban adalah tangan-tangan yang menciptakan kemakmuran lewat kopi, gula, dan rempah. Mereka yang disebut takut, justru berani mengangkat senjata di Aceh, Bali, hingga Sulawesi. Mereka yang disebut malas, adalah yang menanami ribuan hektare perkebunan yang hasilnya tak pernah mereka nikmati.
Seandainya Belanda lebih peka, melihat Indonesia bukan sebagai koloni tetapi sebagai mitra, bisa saja mereka tetap bertahan tanpa harus menghadapi gelombang kemerdekaan. Tapi Belanda lupa, bahkan bangsa yang paling ramah sekalipun tidak akan tinggal diam jika terus dipermalukan dan diperas. Luka yang ditorehkan kolonialisme terlalu dalam untuk dilupakan.
Belanda bahkan sempat membuka ruang pendidikan, namun justru menciptakan generasi baru yang mampu melawan lewat pikiran. Sekolah-sekolah yang awalnya dirancang untuk mencetak buruh terampil, justru melahirkan pemikir, nasionalis, dan tokoh-tokoh yang mempertanyakan: mengapa kita dijajah?
Ketika Jepang datang dan menggulingkan Belanda pada 1942, Indonesia bukannya merindukan kembalinya pemerintah kolonial itu. Sebaliknya, sebagian besar rakyat melihat ini sebagai peluang langka. Jatuhnya Belanda adalah pertanda bahwa cengkraman kolonial tidak abadi. Maka, begitu Jepang menyerah, proklamasi segera dikumandangkan. Tidak ada ruang ragu.
Jika Belanda sejak awal memandang orang Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat, bisa jadi kemerdekaan Indonesia tidak lahir dari pemberontakan, tapi dari dialog. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Penindasan, stereotip yang merendahkan, dan ketidakadilan menjadi alasan mengapa Indonesia berdiri sendiri hari ini.
Kita mungkin bangsa yang penuh senyum, suka menundukkan kepala saat menyapa, dan menghindari pertengkaran dalam keseharian. Namun, bangsa ini juga menyimpan keberanian yang tak terkatakan. Bukan bangsa yang mencari-cari konflik, tetapi yang tidak akan ragu jika kehormatan diinjak-injak.
Kini, setelah merdeka, kita masih mewarisi beberapa stereotip itu. Sebagian bahkan masih dipercaya oleh dunia, bahkan oleh bangsa kita sendiri. Namun sejarah sudah membuktikan, Indonesia bukan bangsa yang takut perubahan. Justru dari kehangatan dan kelembutan itulah, muncul keberanian yang luar biasa saat waktunya tiba.
Andai saja Belanda lebih bijak, mungkin kisah Indonesia akan berbeda. Tapi seperti secangkir kopi hitam yang lahir dari tanah ini, pahitnya masa lalu adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari rasa yang utuh.
Dibuat oleh AI
Tidak ada komentar: